Translate

BBM

BBM

Legenda Danau Toba

Kepercayaan masyarakat sekitar berkata, ada sebuah legenda tentang kemunculan danau Toba itu sendiri. Begini ceritanya.


Zaman Dahulu Kala, ada seorang nelayan bernama TOBA. Suatu hari, dia memancing ikan di Sungai. Ikan tersebut, berjenis ikan Mas. Dia membawa ikan tersebut pulang. Tak taunya, ikan tersebut, berbicara kepada TOBA. Dia sangat terkejut. Ikan itu meminta TOBA untuk tidak memakan nya. Ikan tersebut Berubah menjadi seorang wanita cantik. Toba jatuh hati kepada wanita itu. 

Mereka pun menikah. Tapi toba harus memenuhi syarat ketika mereka punya anak nanti, TOBA tidak boleh mengatakan bahwa anak mereka adalah anak ikan. Toba memenuhi nya. Mereka mempunyai anak diberi nama Samosir.

Toba beralih pekerjaan menjadi "pangula" atau Petani. Samosir tumbuh menjadi anak yang nakal. Suatu hari, Samosir disuruh ibunya mengantar makan kepada ayahnya yang sedang bekerja di ladang. Namun ditengah jalan, Samosir menjatuhkannya. Samosir memungutnya dan memasukkan kembali ke tempatnya. Ia memberikan kepada ayahnya. Toba sangat marah. ia berkata "Na botul do ho anak ni dengke. Dang suman pangalahom songon jolma. Lao ho sian on dengke!". Artinya "Kau benar-benar adalah seorang anak ikan. Tak cocok lah sifatmu seperti seorang manusia. Pergilah kau dari sini IKan. Ternyata, dari kejauhan, istrinya mendengarnya. Samosir lalu berlari ke Ibunya sambil menangis.

Toba menyadari perbuatan nya. Seketika, petir muncul dan menyambar. Hujan turun dan sungai Meluap. Samosir disuruh ibunya untuk pergi ke gunung dan memanjat pohon ter-tingi. Ibunya kembali menjadi ikan Mas. Sungai tadi berubah menjadi danau diberinama danau toba. Gununug tadi berubah menjadi pulau di tengah-tengah danau, diberi nama pulau samosir. 

Hingga kini Danau toba Dan pulau Samosir sangat terkenal. Nama keduanya digunakan sebagai nama salah satu kabupaten yaitu kabupaten Toba Samosir di Provinsi Sumatra Utara.

Dalihan Na Tolu (Tungku Tiga Batu)


DALIHAN NA TOLU pada dasarnya berarti tungku (tataring) yang terbuat dari tiga buah batu yang disusun. Tiga buah batu itu mutlak diperlukan menopang agar belanga atau periuk tidak terguling. Selanjutnya di kemudian hari istilah dalihan na tolu ini dipergunakan untuk menunjuk kepada hubungan kekerabatan yang diakibatkan oleh pernikahan, yaitu dongan tubu (pihak kawan semarga), hula-hula (pihak “pemberi perempuan”) dan boru (pihak “penerima perempuan”). Sebab itu dalihan na tolu adalah konstruksi sosial yang diciptakan oleh suatu masyarakat dan budaya Batak. Dalihan na tolu bukanlah wahyu atau sesuatu yang alami dan terjadi dengan sendirinya. Dalihan na tolu adalah produk budaya Batak.

1. BERKEMBANG DALAM SEJARAH

Jika kita melihat secara kritis kultur Batak termasuk dalihan na tolu sebenarnya bukan sesuatu yang statis atau beku tetapi juga mengalami pergeseran dan perkembangan dalam sejarah. Sebagai contoh penghormatan terhadap hula-hula justru semakin kuat dengan datangnya kekristenan. Mengapa? Sebab sulit kita membayangkan bahwa nenek moyang kita dapat memberi penghormatan yang sama tingginya kepada tiap hula-hula jika dia memiliki istri lebih dari satu. Lebih sulit lagi membayangkan nenek-moyang kita dapat menghormati hula-hula dari selir (rading) atau istri yang diperolehnya secara paksa dari peperangan atau bekas hambanya. Namun dengan masuknya kekristenan yang membuat pernikahan orang Batak menjadi monogami dan permanen (abadi) maka dampaknya penghormatan terhadap hula-hula juga semakin kuat. Semakin baik pernikahan maka penghormatan kepada hula-hula juga semakin baik.

Contoh lain menunjukkan pergeseran dalihan na tolu: Pada jaman dahulu tidak semua even pertemuan Batak dihadiri oleh tulang atau hula-hula (kecuali pesta besar). Hal ini dapat dimaklumi karena hula-hula atau tulang tinggal di kampung yang lain yang jauh (kecuali bagi sonduk hela, orang yang menetap di kampung hula-hulanya). Namun keadaan ini berubah dengan migrasi orang Batak ke luar Tapanuli. Kampung dan kota di luar Tapanuli bersifat majemuk (multi marga, multi suku). Banyak orang kini tinggal sekampung atau bahkan bertetangga dengan hula-hula atau tulang-nya.
Apakah dampaknya? Interaksi antara hula-hula dan boru semakin intensif. Jika ada acara di rumah banyak orang jadi sungkan jika tidak mengundang tulang atau hula-hula yang kebetulan menjadi tetangga atau tinggal sekota dengannya.

Pada jaman dahulu ketika nenek moyang kita masih menetap di Tanah Batak kampung identik dengan marga. Artinya “dongan sahuta” hampir identik dengan “dongan tubu”. Namun dengan migrasi orang Batak ke Sumatera Timur dan kota-kota lain keadaan berubah. Dongan sahuta tidak lagi otomatis dongan tubu (kawan semarga). Dampak perubahan demografi ini peranan dongan sahuta (parsahutaon) yang terdiri dari multi marga ini semakin besar di kota-kota. Jonok dongan partubu jumonok dongan parhundul.

2. MANAT MARDONGAN TUBU, ELEK MARBORU, SOMBA MARHULA-HULA

Jika kita perhatikan kampung-kampung tradisional di Tapanuli dihuni oleh orang-orang yang semarga. Dongan tubu karena itu adalah teman untuk mengerjakan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu kita harus memperlakukan dongan tubu secara hati-hati (manat). Kehati-hatian pada dasarnya adalah bentuk lain dari sikap hormat. Nasihat ini relevan sebab justru kehati-hatian sering kali hilang karena merasa terlalu dekat atau akrab. Hau na jonok do na masiososan. Selanjutnya Elek marboru merupakan nasihat bahwa boru harus senantiasa dielek atau dianju (dibujuk). Boru adalah penopang dan penyokong. Sebab itu mereka senantiasa diperlakukan dengan ramah-tamah dan lemah-lembut agar mereka tidak sakit hati dan kemudian membiarkan hula-hula-nya. Namun sebaliknya: Bagi orang Batak pra-Kristen hula-hula memang dipandang sebagai mata ni ari bisnar, sumber berkat dan kesejahteraan, sebab itu harus disembah (somba marhula-hula).

Lantas bagaimana dengan kita orang Kristen? Prinsip-prinsip dalihan na tolu ini dapat terus kita pertahankan sebagai kontsruksi budaya yang positif. Namun makna somba marhula-hula harus kita beri warna baru. Sebab bahasa Batak tidak membedakan istilah hormat dan sembah. Sementara sebagai orang Kristen kita mengakui bahwa Tuhanlah sumber berkat satu-satunya. Hula-hula atau mertua hanyalah salah satu (baca: bukan satu-satunya) saluran atau distributor berkat yang dipakai Tuhan.
.
Selanjutnya sebagai orang Kristen dan moderen, kita juga harus memperkaya prinsip dalihan na tolu ini dengan semangat egalitarian (kesetaraan). Pada dasarnya tiap-tiap orang, tanpa kecuali, harus kita hormati. Tiap-tiap orang (apapun suku, ras, profesi, pendidikan, jenis kelamin, agama dan tingkat ekonominya) pantas mendapat hormat. Kita wajib menghormati hula-hula, melindungi boru dan memperlakukan hati-hati dongan tubu kita tanpa memandang latar belakang ekonominya, pendidikan, pangkat atau jabatannya.

3. SIRKULASI PERAN DAN JABATAN

Inti atau substansi kultur dalihan na tolu adalah sirkulasi dan distribusi peran dan jabatan. Dalam kultur Batak setiap orang tidak mungkin terus-menerus dihormati sebagai hula-hula. Hari ini menjadi boru, esok menjadi dongan tubu, lusa menjadi hula-hula. Hari ini duduk dilayani besok melayani. Tidak ada orang yang mutlak selama-lamanya (dondon pate) dihormati. Tidak ada juga orang yang selama-lamanya berada di bawah melayani!

Masyarakat Batak sangat sadar akan arti ruang atau tempat dan even. Peran dan kedudukan seseorang sangat dinamis sebab tergantung ruang dan even (ulaon). Sirkulasi peran dan jabatan ini merupakan kontribusi masyarakat Batak bagi gereja dan masyarakat. Bahwa semua orang harus bergantian melayani dan dilayani, menghormati dan dihormati. Tidak ada yang terus-menerus boleh menjadi kepala atau pemimpin.

Ini sangat relevan dengan dunia modernitas. Kepemimpinan moderen tergantung kepada even dan ruang dan waktu. Tidak ada orang yang boleh mengklaim menjadi pemimpin di setiap even, di semua ruang dan sepanjang waktu. Ini juga relevan dengan iman Kristen yang memandang semua manusia setara di hadapan Tuhan (Gal 3:28) dan harus diperlakukan dengan hormat dan kasih (Roma 12:10, II Pet 1:7, Yoh 13:14, 34)

4.HUKUM BERBALASAN POSITIF

Selanjutnya dalihan na tolu merupakan perwujudan prinsip hukum berbalasan. Sisoli-soli do uhum siadapari do gogo. Saling berbalas adalah hukum dan saling berganti merupakan kekuatan. Boru memberikan juhut (daging) dan hula-hula menyambut dan memberikan boras dohot dengke (beras dan ikan). Boru memberikan piso-piso (uang) dan hula-hula merespons dengan memberi doa memohon berkat. Hula-hula memberikan ulos dan boru membalas dengan uang.

Prinsip berbalasan positif (sisoli-soli) ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kesejahteraan bersama. Beban dan keuntungan dibagi dan dipikul bersama. Hula-hula, dongan tubu dan boru harus sama-sama bersukacita dan beruntung. Tidak boleh ada pihak yang ingin menang dan nikmat sendiri!

Namun prinsip dalihan na tolu tetap harus dimurnikan senantiasa dengan KASIH AGAPE atau kasih tanpa mengharapkan balasan yang diajarkan Yesus. Yesus memang tidak pernah melarang kita membalas yang baik (seluruh ayat Alkitab hanya melarang membalas yang jahat), namun Dia menghendaki agar kita belajar juga mengasihi dan memberi tanpa mengharapkan balasan (pamrih).

5. KESETARAAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI

Tuhan Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan sebagai citra Allah (Kej 1:27). Laki-laki dan perempuan sama dan setara di hadapanNya (Gal 3:28). Kekristenan mengajarkan bahwa perempuan bukanlah manusia kelas dua atau bagian laki-laki. Perempuan juga bukan properti milik laki-laki yang dapat dijadikan objek transaksi atau perjanjian jual-beli. Sebab itu komunitas Kristen-Batak juga harus menempatkan dalihan na tolu dalam konteks kesetaraan (hadosan) dan keadilan (hatigoran) laki-laki dan perempuan.

Pada jaman dahulu hula-hula dianggap sebagai pemberi perempuan. Namun di jaman modern perempuan yang bebas dan otonom karena itu tidak boleh dijadikan objek apalagi “diserah-terimakan”. Perempuan adalah subjek atau pribadi. Pernikahan karena itu kini dianggap perjanjian dua pihak yang setara. Akibatnya secara tak langsung makna hula-hula pun bergeser bukan lagi sebagai “marga pemberi perempuan” namun “marga asal perempuan”.

Sinamot atau tuhor (uang mahar pernikahan( karena itu bukanlah keuntungan yang diperoleh dari transaksi perempuan tetapi harus diartikan sebagai biaya (cost) yang diperlukan untuk menciptakan sukacita bersama.

6. GEREJA MENCEGAH CHAOS

Gereja HKBP memiliki anggota yang mayoritas Batak (minimal sampai saat ini). Anggota HKBP karena itu juga dalam hidupnya menghayati dalihan na tolu. Salah satu prinsip dalihan na tolu adalah melarang pernikahan yang semarga. Gereja HKBP menerima prinsip melarang pernikahan semarga ini agar tidak terjadi chaos atau kekacauan di masyarakat. Sebagaimana dikatakan Rasul Paulus agar semuanya berlangsung secara teratur (I Kor 14:40) dan rapih tersusun (Ef 4:16)

7. DEPOLITISASI DAN DOMESTIKASI ADAT

Dahulu yang disebut adat Batak adalah segala sesuatu konsep, nilai, ide, hasil karya dan kegiatan orang Batak (menanam padi, membangun rumah, membuka kampung baru, berperang, mengikat perjanjian antar marga dll). Dalam perkembangan terakhir makna adat telah mengalami proses depolitisasi dan domestikasi. Kini adat Batak direduksi atau diminimalisasi menjadi sekedar ritus domestik (rumah tangga): ritus pernikahan, kelahiran dan kematian. Apa akibatnya? Peranan dalihan na tolu menjadi sangat dominan atau menonjol walaupun pada prakteknya kurang berpengaruh kepada kehidupan ekonomi dan politik komunitas Kristen-Batak itu sendiri. Sebab itu tantangan bagi kita sekarang adalah mencari dan menemukan hakikat atau esensi adat Batak itu sendiri agar tidak larut dan hanyut dalam ritus atau seremoni konsumtif belaka.

Sumber :
( Pdt. Daniel T.A. Harahap)
Home: http://rumametmet.com

Hata Haporseaon ni Halak Kristen

Ahu porsea di Debata Jahowa,
I do Ama pargogo na so hatudosan,
na tumompa langit dohot tano.

Ahu porsea di Jesus Kristus,
Anak ni Debata Jahowa nasasada i;
i ma na tinubuhon ni si Maria,
na gabegabean sian Tondi Parbadia andorang so habubuhan.
I do Tuhanta na tumaon na bernit di panguhuman ni si Latus,
na mate tarpajal do Ibana di hau pinarsilang,
na tuat tu banuatoru dung ditanom,
na mulak mangolu di ari patoluhon,
na manaek tu Surgo laho hundul tu siamun ni Debata Jahowa,
AmaNa i pargogo na so hatudosan i,
disi ma Ibana paima mulak sogot tu tano on
manguhumi halak na mangolu dohot na mate.

Ahu porsea di Tondi Parbadia, jala adong sada Huria na badia, Huria hatopan ni halak Kristen angka na badia, dohot di hasesaan ni dosa dohot di Hata i na mandok: Mulak mangolu do sogot daging ni halak naung mate, dohot di hangoluan na so ra suda.

Sejarah Gereja di Sumatra : HKBP

a. Pada abad ke-19 barulah Injil itu diberitakan di Sumatra. Memang di Padang, dipantai sebelah barat sudah ada satu jemaat Kristen, yang terdiri dari pegawai-pegawai VOC, sejak tahun 1679. Akan tetapi tidak pernah Injil itu disebarkan kepada penduduk-penduduk asli didaerah itu.

Baru pada saat pemerintahan Inggris yang berlangsung didaerah itu, mulai 1811 sampai 1825 usaha Pekabaran Injil terlaksanalah untuk pertama kalinya. Raffles yang memberikan izin untuk pertama kalinya kepada para pekabar Injil di Jakarta, dialah juga yang memungkinkan beberapa pekabar Injil bekerja di Sumatra Barat.

Pada tahun 1820 tiga pekabar Injil dari perhimpunan pekabar Injil Baptis di Inggris memasuki daerah-daerah itu. Mereka adalah Ward yang pergi ke Bengkulu, Evans ke Padang dan Burton ke Sibolga. Yang terakhir ini mempelajari bahasa Batak Toba, malahan dia mencoba juga untuk menterjemahkan fasal I dari Alkitab.

Ia menyadari bahwa usaha Pekabaran Injil di Sumatra mustahil akan berakar didalam suku-suku Sumatra, bilamana usaha itu dilaksanakan di-daerah-daerah pantai saja.Disebabkan pengetahuan yang baru itu maka Lembaga Alkitab Belanda mengutus seorang ahli bahasa, Neubronner van der Tuuk, kesitu, dengan tugas untuk menyelidiki bahasa Batak serta menterjemahkan Alkitab kedalam bahasa itu.Van der Tuuk menetap di Baros, dipantai barat.

Keahliannya demikian rupa sehingga ia menghasilkan beberapa buku penyelidikan mengenai bahasa Batak serta menterjemahkan sebuah kamus dan beberapa fasal Perjanjian Lama. Buku-buku itu diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Belanda. Mengenai kesempatan untuk menyebarkan Injil didaerah Batak, maka adalah nasehat yang berbunyi sebagai berikut: "Tidak ada harapan untuk beroleh hasil diantara penduduk-penduduk Angkola dan Mandailing.

Dalam jumlah yang besar mereka sedang masuk Islam, sebagaimana halnya pada hampir segala orang Batak yang telah ada dibawah pemerintah (Balanda). Untuk memajukan kekristenan, maka perlulah dilaksanakan tindakan yang tegas. Sejarah pekabar Injil harus ditempatkan disuatu daerah tertentu. Jika tidak menempuh jalan itu, maka menurut hemat saja seluruh masyarakat sudah diislamkan, sebelum kita menyadarinya. Biasanya dengan masuknya gubernemen maka bahasa Melaju turut masuk juga, dan lagi pula terdapat sejumlah orang-orang Melaju yang bertujuan untuk mengislamkan mereka itu." Sejarah Gereja Di Indonesia. Badan Penerbitan Kristen-Jakarta. Halaman 208-211.

Di-daerah-daerah pantai itu besarlah sekali pengaruh-pengaruh dari pihak Islam atas suku-suku yang masih dalam kekafiran. Oleh karena itu Burton beserta dengan Ward memutuskan untuk masuk kepedalaman. Pada tahun 1824 mereka itu sampai ke Silindung, yaitu daerah pedalaman yang diduduki oleh suku Batak Toba. Meskipun disambut dengan baik namun kedua perintis itu pulang dengan tiada memperoleh hasil apapun dari pemberitaan Injil yang untuk pertama kalinya dilakukan diantara suku Batak itu.

Lagi pula pada waktu itu berobahlah sudah keadaan politik. Di Sumatra Barat pemerintah Inggris diganti lagi dengan pemerintahan Belanda. Berhubung dengan peristiwa itu berakhir pulalah usaha Pekabaran Injil dari pihak Inggris di Sumatra. Akan tetapi pada pihak lain, Sumatra mendapat perhatian dari perhimpunan Pekabaran Injil Belanda sejak waktu itu. Sudah pada tahun 1826 NZG mengutus seorang pekabar Injil untuk menyebarkan Injil di Sumatra, yaitu Gützlaff. Tetapi disebabkan berkobarnya perang Bonjol di Sumatra Tengah, maka mustahil Gützlaff dapat bertolak kesitu. Iapun tinggallah di Jakarta lalu mencurahkan segala perhatiannya kepada usaha pekabaran Injil diantara masyarakat Tionghoa. Dikemudian hari dialah yang menyadi perintis yang utama dalam usaha pekabaran Injil di Tiongkok.

Orang-orang Baptis Amerika (Boston) melakukan suatu percobaan lagi untuk membawa Injil kepedalaman itu. Pada tahun 1834 dua pekabar Injil yaitu Munson dan Lyman berangkat dari Sibolga kepedalaman yang sudah dikunjungi oleh Ward dan Burton lebih dahulu. Mereka menjadi korban-korban dari keganasan suku-suku kafir itu yang membunuh serta memakan mereka. Peristiwa itu terjadi di Lobu Pining, 20 km jauhnya dari Silindung, tempat mana Gereja Batak mendirikan satu batu peringatan 75 tahun kemudian. Pada batu itu tertulis ungkapan Augustinus: "Darah para martir merupakan bibit Gereja." Kebenaran ungkapan itu terbukti didalam Gereja tersebut. Percobaan yang lain dari pihak Baptis Amerika dimulai didaerah Batak sebelah selatan pada tahun 1837. Tetapi perintis pekabaran Injil itu, Ennis namanya mengalami kegagalan oleh karena penyakit yang menimpanya.

Makin lama makin matanglah saat untuk mengkristenkan pedalaman Sumatra itu. Kita ingat beberapa faktor yang menyadikan keadaan disitu baru. Peperangan Bonjol sudah berakhir. Imam Bonjol bukannya saja berusaha untuk mengusir pemerintah Belanda dari daerahnya yaitu Minangkabau, melainkan tentaranya melakukan juga perampokan untuk menindas suku-suku kafir yang diam didaerah sebelah utara Minangkabau. Mereka sering mengadakan serangan-serangan sampai kedaerah Angkola, malahan sampai ke Silindung dan Toba sampai melakukan rampasan-rampasan, menangkap orang-orang untuk diperhambakan dan mengislamkan mereka dengan paksaan. jelaslah bahwa ber-puluh-puluh tahun kemudian penduduk-penduduk daerah Batak masih ketakutan, jikalau mereka mengenangkan peristiwa-peristiwa yang dahsyat dari "perang Bonjol" itu atau dengan sebutan lain "perang padri". Akan tetapi sesudah mencapai kemenangan, maka pemerintah Belanda memelihara keamanan serta ketertiban didaerah itu, termasuk Tapanuli Selatan (Daerah mandailing dan Angkola), sehingga mungkin disitu usaha Pekabaran Injil dapat dijalankan.

Keadaan yang damai itu memberi kesempatan untuk menyelidiki pedalaman Sumatra untuk pertama kali. Seorang ahli, yaitu Dr. Junghuhn yang berkebangsaan Jerman ditugaskan untuk mengadakan ekspedisi penyelidikan kepedalaman itu. Bukunya mengenai "Daerah Batak di Sumatra" membuktikan hasil penyelidikannya itu.

b. Pada satu pihak bolehlah dikatakan bahwa oleh karena hal-hal yang disebut diatas sudah tibalah kesempatan untuk menyalankan Pekabaran Injil kedaerah itu. Pada pihak lain kita melihat beberapa golongan Pekabaran Injil yang bersedia untuk melakukannya.

Pada tahun 1850 muncullah suatu gerakan rohani di Ermelo (lih. juga hlm 186) yaitu sebuah kota kecil di Belanda. Jemaat-jemaat petani itu merasa terdorong untuk mewujudkan kesaksiannya dengan kuat sekali. Hampir serupa dengan gerakan persaudaraan Moravi 150 tahun lebih dahulu maka pada gerakan ini tampaklah ciri-ciri hidup yang baru itu. Diantaranya para pekabar Injil yang pertama kalinya diutus oleh jemaat Ermelo adalah G. van Asselt, yang ditahbiskan pada tahun 1856 dan tiba di Padang pada bulan Desember tahun tersebut. Akan tetapi ia tidak menuruti nasihat Van der Tuuk tadi untuk menyingkiri daerah-daerah yang sudah dipengaruhi oleh Islam.

Gubernur Sumatra Barat mempekerjakannya padaa perkebunan kopi dari pemerintah di Angkola; disamping itu ada kesempatan baginya untuk melakukan pekabaran Injil disitu. Van Asselt menetap di Sipirok yang menyadi batu loncatan bagi usaha pekabaran Injil diantara suku-suku Batak. Dua tahun kemudian tibalah beberapa pekabar Injil lagi dari Ermelo, seorang untuk Sibolga, sedangkan yang lain menetap disekitar Siporak juga. Mereka mendapat sokongan pula dari "Perhimpunan untuk Pekabaran Injil didalam dan diluar Gereja" Jakarta. Tetapi sokongan itu makin lama makin berkurang, sehingga pada tahun 1864 "Komite Jawa" (lih. hlm. 204) memelihara sebagian pekerjaan mereka, dan hal itu berlangsung sampai tahun 1931, waktu mana jemaat Batak yang dimunculkan oleh "Komite Jawa" dipersatukan dengan HKBP.

Peristiwa yang menyebabkan terjadinya sejarah pengkristenan suku-suku Batak, ialah keputusan yang diambil oelh "Rheinische Missionsgesellschaft" (RMG) untuk menyebarkan Injil disitu. Sudah 25 tahun lamanya RMG bekerja di Kalimantan Selatan (lih. hlm. 146) Tetapi pemberontakan tahun 1859 sangat merugikan usahanya didaerah itu malahan pemeritah melarang Pekabaran Injil masuk kepedalaman Kalimantan oleh karena peristiwa yang dahsyat itu. Akibatnya ialah bahwa RMG mencari bidang pekabaran Injil yang lain. Bagaimanakah mulanya sehingga RMG tertarik oleh Sumatra? Bolehlah dikatakan bahwa secara kebetulan telah terjadi suatu peristiwa yang tiada berarti apa-apa, namun akibatnya sangatlah luas.

Pada perkunjungannya ke Belanda untuk membicarakan hal-hal mengenai pekabaran Injil di Indonesia, maka ketua RMG secara kebetulan melihat buku-buku Neubronner van der Tuuk yang baru diterbitkan. Hal itu dianggap olehnya sebagai petunjuk dari Tuhan sendiri. Bukankah suku-suku Batak itu sudah siap untuk dikerjakan oleh para pekabar Injil? Bahasanya sudah selesai diselidiki, adat istiadatnya sudah diketahui; sudah pula diakui bahwa Injil itu perlu dibawa keantara mereka supaja suku itu sudah dikristenkan sebelum Islam berpengaruh disana.

Dengan cepatnya RMG mengambil keputusan untuk mengutus dengan segera para pekabar Injil yang telah menganggur di Kalimantan ke Sumatra. Pula diberangkatkan dari Jerman para pekabar Injil yang baru! Termasuk juga diantaranya seorang pekabar Injil Belanda yang sudah dipekerjakan disitu. Pada tanggal 7 Oktober 1861 maka ke-4 pekabar Injil itu sudah dapat mengadakan konperensi yang pertama di Sipirok untuk merencanakan pekerjaan bersama. Tanggal ini kemudian ditetapkan oleh HKBP sebagai tanggal kelahirannya. Menurut pendapat kami, sebaiknya, tanggal 31 Maret 1861 dijadikan tanggal lahirnya Gereja. Sebab pada hari itulah dilakukan baptisan yang pertama. Baptisan yang pertama ini dilakukan terhadap 2 orang Batak di Sipirok.

Sejarah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang telah 100 tahun lamanya merupakan suatu bagian yang paling menarik dari sejarah Gereja di Indonesia pada umumnya. Memang hanya garis-garis besarnya saja yang dapat dibentangkan disini.

Artikel ini diambil dari : Kruger, Dr. Th. Muller. 1966.

Ulos

Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera. Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.

Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.

Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan.

Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.

ARTI ULOS

Mangulosi adalah suatu kegiatan adat yang sangat penting bagi orang batak. Dalam setiap kegiatan seperti upacara pernikahan, kelahiran, dan dukacita ulos selalu menjadi bagian adat yang selalu di ikut sertakan.

Menurut pemikiran moyang orang batak, salah satu unsur yang memberikan kehidupan bagi tubuh manusia adalah “kehangatan”. Mengingat orang-orang batak dahulu memilih hidup di dataran yang tinggi sehingga memiliki temperatur yang dingin.

Demikian juga dengan huta/kampung yang ada di daerah tapanuli umumnya di kelilingi dengan pepohonan bambu. Dimana memiliki kegunaan bukan hanya sebagai pagar untuk menjaga serangan musuh saja, namun juga menahan terjangan angin yang dapat membuat tubuh menggigil kedinginan.

Ada 3 hal yang di yakini moyang orang batak yang memberi kehidupan bagi tubuh manusia, yaitu : Darah, Nafas dan Kehangatan. Sehingga “rasa hangat” menjadi suatu kebutuhan yang setiap saat di dambakan.

Ada 3 “sumber kehangatan” yang di yakini moyang orang batak yaitu : matahari, api dan ulos. Matahari terbit dan terbenam dengan sendirinya setiap saat. Api dapat di nyalakan setiap saat, namun tidak praktis untuk di gunakan menghangatkan tubuh, misalnya besarnya api harus di jaga setiap saat sehingga tidur pun terganggu. Namun tidak begitu halnya dengan Ulos yang sangat praktis digunakan di mana saja dan kapan saja.

Ulos pun menjadi barang yang penting dan di butuhkan semua orang kapan saja dan di mana saja. Hingga akhirnya karena ulos memiliki nilai yang tinggi di tengah-tengah masyarakat batak. Dibuatlah aturan penggunaan ulos yang di tuangkan dalam aturan adat, antara lain :

    Ulos hanya di berikan kepada kerabat yang di bawah kita. Misalnya Natoras tu ianakhon (orang tua kepada anak).
    Ulos yang di berikan haruslah sesuai dengan kerabat yang akan di beri ulos. Misalnya Ragihotang diberikan untuk ulos kepada hela (menantu laki-laki).

Sedangkan menurut penggunaanya antara lain :

    Siabithonon (dipakai ke tubuh menjadi baju atau sarung) digunakan ulos ragidup, sibolang, runjat, jobit dan lainnya.
    Sihadanghononhon (diletakan di bahu) di gunakan ulos Sirara, sumbat, bolean, mangiring dan lainnya.
    Sitalitalihononhon (pengikat kepala) di gunakan ulos tumtuman, mangiring, padang rusa dan lain-lain.

Saat ini kita tidak membutuhkan ulos sebagai penghangat tubuh di saat tidur ataupun saat beraktifitas, karena ada berbagai alat dan bahan yang lebih maju untuk memberi kehangatan bagi tubuh pada saat berada pada udara yang sangat dingin. Tetapi Ulos sudah menjadi perlambang kehangatan yang sudah mengakar di dalam budaya batak.

Namun ini juga menjadi tantangan bagi budaya batak di masa depan, karena cara pandang dan penghargaan anak-anak muda masa depan sangat berbeda dengan para orang tua yang sempat merasakan berharganya nilai ulos dalam kekerabatan. Akankah anak-anak kita memandang ulos seperti memandang “kain pada umumnya”, bahkan lebih parahnya setelah kain tersebut di gunakan dalam acara adat yang melelahkan kemudian ulos tersebut tersimpan rapat dalam lemari saja.

Sangat berbeda “rasanya” dengan dengan menggunakan setelan jas yang modis dan ingin menggunakannya lagi dan lagi begitu setiap saat.

Jangan-jangan yang terbayang dalam pikiran mereka saat melihat ulos yang tergolek dalam lemari adalah acara adat yang melelahkan, njelimet adatnya, pusing karena gak tau bahasa batak, malu karena gak pinter martutur (menempatkan diri dalam pertalian darah atau keturunan).

Akan sangat banyak tantangan masa depan yang akan menghimpit “niat maradat” bagi generasi muda masa depan. Seperti masalah ke uangan, penggunaan waktu, perkembangan pola pikir praktis, berkurangnya “rajaparhata” (orang yang mengetahui adat dan dapat memandu kegiatan adat dari awal hingga akhir).